Saturday, December 3, 2016

Dewi Sartika,Hari Lahir Dewi Sartika ke-132

Dewi Sartika,Hari Lahir Dewi Sartika ke-132 

Dewi Sartika,Hari Lahir Dewi Sartika ke-132
Dewi Sartika,Hari Lahir Dewi Sartika ke-132 


Dewi Sartika,Hari Lahir Dewi Sartika ke-132



Dewi Sartika,Hari Lahir Dewi Sartika ke-132


Raden Dewi Sartika adalah tokoh perintis pendidikan untuk kaum wanita, diakui sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Indonesia tahun 1966. Dewi Sartika adalah puteri dari suami-istri Raden Somanagara dan Raden Ayu Rajapermas

Lahir: 4 Desember 1884, Hindia Belanda
Meninggal: 11 September 1947, Jawa Barat
Kebangsaan: Indonesia
Pasangan: R. Kd. Agah Suriawinata (m. 1906)
Orang tua: Raden Ayu Rajapermas, Raden Rangga Somanagara

Raden Dewi Sartika (aksara Sunda Latin: Rd. Déwi Sartika) (lahir di Bandung, 4 Desember 1884 – meninggal di Tasikmalaya, 11 September 1947 pada umur 62 tahun) adalah tokoh perintis pendidikan untuk kaum wanita, diakui sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Indonesia tahun 1966. Dewi Sartika adalah puteri dari suami-istri Raden Somanagara dan Raden Ayu Rajapermas. Waktu menjadi patih di Bandung, Somanegara pernah menentang Pemerintah Hindia Belanda. Karena itu istrinya dibuang di Ternate. Dewi Sartika dititipkan pada pamannya, Patih Arya Cicalengka.

Dewi Sartika dilahirkan dari keluarga priyayi Sunda, Nyi Raden Rajapermas dengan Raden Somanagara. Meskipun bertentangan dengan adat waktu itu, ayah-ibunya bersikukuh menyekolahkan Dewi Sartika di sekolah Belanda. Setelah ayahnya wafat, Dewi Sartika diasuh oleh pamannya (kakak ibunya) yang menjadi patih di Cicalengka. Oleh pamannya itu, ia mendapatkan pengetahuan mengenai kebudayaan Sunda, sementara wawasan kebudayaan Barat didapatkannya dari seorang nyonya Asisten Residen berkebangsaan Belanda.

Sedari kecil, Dewi Sartika sudah menunjukkan bakat pendidik dan kegigihan untuk meraih kemajuan. Sambil bermain di belakang gedung kepatihan, ia sering memperagakan praktik di sekolah, belajar baca-tulis, dan bahasa Belanda, kepada anak-anak pembantu di kepatihan. Papan bilik kandang kereta, arang, dan pecahan genting dijadikannya alat bantu belajar.

Waktu itu, Dewi Sartika baru berumur sekitar sepuluh tahun, ketika Cicalengka digemparkan oleh kemampuan baca-tulis dan beberapa patah kata dalam bahasa Belanda yang ditunjukkan oleh anak-anak pembantu kepatihan. Gempar, karena waktu itu belum ada anak (apalagi anak rakyat jelata) yang memiliki kemampuan seperti itu, dan diajarkan oleh seorang anak perempuan.

Setelah remaja, Dewi Sartika kembali lagi kepada ibunya di Bandung. Jiwanya yang telah dewasa semakin menggiringnya untuk mewujudkan cita-citanya. Hal ini didorong pula oleh pamannya, Bupati Martanagara, yang memang memiliki keinginan yang sama. Tetapi, meski keinginan yang sama dimiliki oleh pamannya, tidak menjadikannya serta merta dapat mewujudkan cita-citanya. Adat yang mengekang kaum wanita pada waktu itu, membuat pamannya mengalami kesulitan dan khawatir. Namun karena kegigihan semangatnya yang tak pernah surut, akhirnya Dewi Sartika bisa meyakinkan pamannya dan diizinkan mendirikan sekolah untuk perempuan.

Tahun 1906, Dewi Sartika menikah dengan Raden Kanduruan Agah Suriawinata, dari pernikahannya itu ia memiliki putra bernama R. Atot, yang merupakan Ketua Umum BIVB, sebuah klub sepak bola yang merupakan cikal bakal dari Persib Bandung.[butuh rujukan] Suami dari Dewi Sartika memiliki visi dan cita-cita yang sama dengan Dewi Sartika, guru di sekolah Karang Pamulang, yang saat itu merupakan sekolah Latihan Guru.

Sejak 1902, Dewi Sartika sudah merintis pendidikan bagi kaum perempuan. Di sebuah ruangan kecil, di belakang rumah ibunya di Bandung, Dewi Sartika mengajar di hadapan anggota keluarganya yang perempuan. Merenda, memasak, jahit-menjahit, membaca, menulis dan sebagainya, menjadi materi pelajaran saat itu

Usai berkonsultasi dengan Bupati R.A.A Martanagara [note 1], pada 16 Januari 1904, Dewi Sartika membuka Sakola Istri (Sekolah Perempuan) pertama se-Hindia Belanda. Tenaga pengajarnya tiga orang : Dewi Sartika dibantu dua saudara misannya, Ny. Poerwa dan Nyi. Oewid. Murid-murid angkatan pertamanya terdiri dari 20 orang, menggunakan ruangan pendopo kabupaten Bandung.

Setahun kemudian, 1905, sekolahnya menambah kelas, sehingga kemudian pindah ke Jalan Ciguriang, Kebon Cau. Lokasi baru ini dibeli Dewi Sartika dengan uang tabungan pribadinya, serta bantuan dana pribadi dari Bupati Bandung. Lulusan pertama keluar pada tahun 1909, bahasa sundabisa lebih mememenuhi syarat kelengkapan sekolah formal.

Today’s Doodle celebrates Dewi Sartika, a leader in women’s education in Indonesia during the late 1800s and early 1900s. At just 18 years old, Sartika started teaching women in a small room in the back of a house. Two years later, she opened the first school for women in Indonesia, and over the next ten years expanded her reach to ten schools.

She was awarded National Heroine by the Indonesian government in 1966 for her positive influence and public service to women across Indonesia.

Happy 132nd birthday to this educational trailblazer!


#GoogleDoodle

No comments:

Post a Comment